Terjadi kadang bahwa anak-anak mengucapkan perkataan kasar tanpa disadarinya. Ini dapat menimbulkan kemarahan atau perasaan terluka pada orang-orang di sekelilingnya.
Walaupun merasa tidak nyaman dengan ucapan sang anak, sebagai orang dewasa, Bunda dan Ayah tak dapat sepenuhnya memarahi mereka. Tetapi sebaiknya Bunda mengajarkan kepada anak tentang bagaimana cara bersikap yang tepat.
Menurut psikolog pendidikan Madeline Jessica, M.Psi., Psikolog, anak-anak pada tahap awal perkembangannya belum benar-benar mengerti dampak emosi dari ucapan mereka. Ini pun sejalan dengan penjelasan dalam teori ‘Perkembangan Kognitif Piaget’.
Teori ini menjelaskan bahwa pada fase praoperasional, yaitu ketika seorang anak berusia antara dua hingga tujuh tahun, mereka akan merasa sulit untuk menyadari bahwa orang lain bisa memiliki emosi yang berbeda dari miliknya sendiri. Karena alasan ini, cara mereka berkomunikasi cenderung tidak memperhatikan perasaan pihak lain.
“Mengacu pada teori perkembangan kognitif milik Piaget, fase praoperasional (2-7 tahun) menunjukkan bahwa anak-anak masih menghadapi tantangan dalam menyadari bahwa pikiran dan emosi orang lain bisa berlainan dengan mereka sendiri. Karena itu, cara berkomunikasi yang biasanya digunakan adalah bicara tanpa memperhatikan perspektif pihak lain (eksisentrik),” jelasnya saat ditemui untuk wawancara tersebut.
BAKOELWEB INDONESIA,
Rabu (26/3/2025).
Saat si kecil menggunakan kata-kata kasar atau melukai perasaan orang lain, penting untuk memahami bahwa mereka mungkin tak berniat seperti itu, Bu. Akan tetapi, anak sedang mengekspresikan emosinya dengan metode yang masih belum sempurna.
Proses Pengembangan Kepribadian Anak dari Balita Hingga Orang dewasa serta Bagaimana Mengertiannya |
Saran untuk mendidik anak dalam mempelari kemampuan bicara yang penuh empati
Psikolog Madeline menyatakan hal tersebut mengacu pada teks dalam buku
Membesarkan Anak yang Berintelektual Emosional
, Bunda dapat mengajarkan beberapa konsep terkait kemampuan berkomunikasi dengan empati kepada anak kecil tersebut. Berikut adalah contohnya:
- Mengenali emosi anak
- Menolong anak mengenali perasaannya
- Mengatur aturan tegas mengenai sikap yang tak boleh ditoleransi
- Menuntun anak mengenali metode yang lebih efektif dalam menyampaikan perasaan mereka.
“Misalnya anak bertanya mengenai agama atau berat badan seseorang yang lebih tua, Ayah dan Bunda bisa bertanya, ‘Kamu tadi bertanya apa, Nak?’, ‘Mungkin kamu ingin tahu karena banyak orang berbeda yang kamu temui, ya?’, ‘Kamu boleh penasaran, tapi menanyakan agama atau berat badan seseorang bisa bikin mereka enggak nyaman’,” ujarnya.
Jelaskan juga pada anak bahwa pertanyaan tersebut adalah hal yang bersifat pribadi. Agar membuat suasana menjadi nyaman, ada baiknya untuk menanyakan hal lain.
“Misalnya seperti, ‘
Aunty
Suka memakan apa?
Aunty
“Apakah kamu pernah berlibur ke suatu tempat? Hal itu dapat membuat percakapan semakin menarik,” jelas Madeline.
Selanjutnya, Madeline pun merekomendasikan bahwa Bunda dan Ayah sebaiknya mendidik Si Kecil tentang ide konsekuensinya. Sebagai contoh, apabila anak bertanya hal-hal yang tak layak, Bunda dapat menyampaikan akibat yang memiliki tujuan pendidikan guna membantu anak memahami implikasi dari pertanyaannya tersebut.
Misalnya saja, anak harus meminta maaf ke pada orang yang terganggu oleh kata-katanya, kemudian orangtua bisa membimbing si anak dalam dialog tentang alasannya bertanya hal tersebut secara tak tepat serta mencari metode alternatif yang lebih sopan untuk mengekspresikan rasa penasarannya di masa depan,” jelas Madeline.
Ketika anak berhasil berkomunikasi dengan lebih empati, jangan lupa untuk memberikan pujian, ya. Hal ini bisa berkembang sebagai kebiasaan yang baik.
Pilihan Redaksi
|
Bagi Bunda yang mau
sharing
soal
parenting
dan bisa dapat banyak
giveaway
, yuk
join
Komunitas BAKOELWEB INDONESIASquad. Untuk mendaftar, silakan klik di sini.
SINI
. Gratis!
Recent Comments