SLO Nusantara.co.id, LONDRES – Sebuah kelompok beragama Kristen, yaitu Quaker, telah menyuarakan kritik terhadap kepolisan di Inggris atas penyerbuan mereka dalam sebuah ruangan pertemuan. Enam remaja yang sedang berkumpul untuk mendiskusikan ketidaknyamanan seputar situasi di Gaza serta masalah pemanasan global pun ditahan oleh aparat tersebut.
Paul Parker, sekretaris Quaker dari Inggris, menyebutkan bahwa 20 petugas polisi, sebagian menggunakan senjata jenis taser, mendobrak masuk ke Westminster Meeting House yang terletak di tengah Kota London sebelum jam 7:15 malam lokal pada hari Kamis.
Menurut situs web resminya, setelah membongkar pintu, kepolisian melakukan pencarian di ruang serbaguna — area untuk ibadah gereja — kemudian mer detain enam perempuan sesuai dengan undang-undang anti-protes baru yang diberlakukan pada 2023. Undang-undang tersebut menjadikan beragam bentuk protes sebagai ilegal dan memberi wewenang kepada aparat penegak hukum untuk mencegah segala gerakan yang dinilai gangguan.
“Pelanggaran agresif terhadap lokasi ibadah kita serta pengusiran paksa para remaja yang sedang melangsungkan rapat untuk unjuk rasa dengan jelas mencerminkan situasi saat masyarakat mendiskreditkan protes,” ungkap Parker lewat pernyataan tersebut.
“Kemerdekaan untuk bertutur, berserikat, serta peradilan yang seimbang merupakan elemen esensial dalam diskusi umum terbuka yang menjadi fondasi bagi pemerintahan demokratik,” ungkap Parker.
Parker menyebut operasi pemerasukan di Westminster Meeting House sebagai penangkapan pertama kali terjadi di sebuah tempat peribadatan Quaker “yang masih teringat.”

Pengikut Quaker, sebutan untuk bagian dari komunitas Religious Society of Friends, mengikuti keyakinan agama yang bermula dari aliran Protestant Kristen diabad ke-17.
Kelompok Quaker di Inggris telah lama berkomitmen untuk mendukung kedamaian antara Palestina dan Israel. Situs web resminya menyebutkan bahwa sebagai bentuk dedikasi mereka terhadap hal tersebut, para Quaker menjalankan Program Pendampingan Ekumenis di Palestina dan Israel (EAPPI) mewakili Churches Together di Inggris dan Irlandia serta organisasi partner lainnya.
Tahun 2011, kelompok Quaker di Inggris setuju dengan pandangan nasional yang mendukung embargo terhadap barang-barang hasil produksi dari permukiman-permukiman Israel di Wilayah Tepi Barat. Menurut undang-undang dunia, permukiman-permukiman itu dinyatakan sebagai hal yang illegal. Kelompok Quaker berpendapat bahwa tindakan boikot adalah cara non-kekerasan menuju kedamaian antara Israel dan Palestina. Akan tetapi, mereka tidak melakukan penghapusan investasi atau memberlakukan sanksi apapun.
Tahun 2014, lembaga pengambil keputusan utama dari Quaker di Britania Raya, yaitu Majelis Umum Tahunan, merilis sebuah deklarasi. Deklarasi tersebut mendorong pemerintah Britania Raya agar memperkuat upayanya dalam mencapai kedamaian antara Palestina dan Israel. Salah satu usulan mereka adalah bahwa pemerintah harus memberikan pengakuan resmi bagi negara Palestina sejajar dengan status pengakuan atas negara Israel.
Pada November 2018, pemimpin Pertemuan Tahunan Gereja Inggris, setelah berunding dengan Meeting for Sufferings (lembaga representatif nasional bagi anggota Quaker), menyatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan dananya untuk mendukung perusahaan yang memperoleh laba dari situasi penempatan warga Palestina.

Baru-baru ini, komunitas Kristen semakin merasa ditekan akibat pendudukan Israel. Dilaporkan sekitar 111 insiden serangan terhadap orang-orang Kristen dan catatan tersebut termuat dalam Laporan Tahunan 2024 dari institusi Israel bernama Pusat Pendidikan dan Dialog Rossing. Peluncuran laporannya sendiri diadakan pada hari Kamis.
Pada laporan pertama pada tahun lalu, dicatatkan ada 89 insiden, di mana 32 di antaranya adalah serangan terhadap aset-aset gereja, 30 kasus penistaan yang telah dilaporkan secara formal, serta tujuh peristiwa kekerasan mayoritas menimpa beberapa korbannya. Sementara itu, dalam riset tahun ini yakni studi tahun 2024 mencatat total 111 kejadian, dengan rincian 46 kali tindakan fisikal agresif, 35 dari mereka sebagai ancaman atau kerusakan kepada milik-milik gereja, dan 13 lainnya berupa dugaan pencemarkan nama baik.
Berdasarkan laporan itu, kebanyakan pelaku sepertinya datang dari kalangan Yahudi ultra-ortodoksal dan nasionalis. Sebagian besar korban mereka adalah pastor atau individu dengan lambang Kristiani. “Kecelakaan yang bisa kita telusuri ini baru menggarisi sedikit bagaimana situasi sesungguhnya. Kita percaya bahwa masih ada banyak insiden lagi yang belum diketahui oleh kami,” ungkap Hana Bendcowsky, kepala JCJCR di Rossing Center, sebuah proyek dari Jerusalem-based Centre for Jewish-Christian Relations.
Terkait laporan itu, kelompok tersebut melakukan penelitian tentang pandangan umatKristen terhadap masalah-masalah seperti identitas, kebebasan beragama, masyarakat Yahudi-Israel, peranan gereja, serta migrasi. Berdasarkan hasil risetnya, diketahui adanya hubungan cukup tegang antara jemaat Kristen dengan seluruh negeri Zionis ini. Tercatat bahwa satu dari setiap tiga responden Kristen merasa tidak disambut baik oleh penduduk Yahudi-Israel dan sedang memperhitungkan pilihan untuk hijrah – angka ini naik hingga mencapai 48% pada mereka yang masih berumur dibawah 30 tahun.
Recent Comments