BAKOELWEB INDONESIA


,


Jakarta


– Figur dituding sebagai intelejen polisi nampak mengacungkan senapan menuju para peserta protes selama unjuk rasa penolakan UU TNI di Jakarta pada hari Kamis, tanggal 27 Maret 2025. Kejadiannya direkam dalam klip video yang menjadi viral di jaringan sosial sesudah diposting oleh pengguna @eva***** di situs web X.

Di dalam klip tersebut, tampak kerumunan demonstrasi menentang
UU TNI
Mengejar seseorang bertubuh besar dan bermerek pakaian gelap yang diyakininya merupakan agen dari kepolisian. Tapi tanpa aba-aba, mereka mendadak melarikan diri seraya berteriak “Pistol! Pistol!” Orang tersebut kemudian diketahui membawa sebuah pisol sebelum pada akhirnya lari meninggalkan kerumunan demonstrasi.

Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Fadhil Alfathan, menggunakan senjata api oleh pihak yang diperkirakan sebagai intel polisi adalah penyalahgunaan kekuatan yang berlebihan. “Jika sebelumnya terdapat intel yang dimasukkan ke dalam keramaian protes sambil membawa senjata, hal tersebut sangatlah berbahaya,” ungkap Fadhil ketika diwawancara pada hari Sabtu, tanggal 29 Maret 2025.

Fadhil menyebutkan bahwa senjata api boleh dipakai oleh kepolisian namun masih harus menaati aturan dan regulasi yang telah ditentukan.

Menurut Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009, Bab 43 menjelaskan bahwa untuk menangani kerusuhan massa, semua personil Polri harus melaksanakan langkah-langkah secara bertahap dimulai dengan menggunakan metode terlembut seperti pendekatan persuasif. Baru kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan pembubaran protes sesuai aturan hukum yang ada serta memperhatikan aspek-aspek legalitas, kesesuaian, dan keseimbangan.

Selanjutnya di Pasal 47 disebutkan bahwa penggunaan senjata api oleh pejabat hanya diperbolehkan ketika menghadapi kondisi darurat ekstrem; untuk melindungi diri dari bahaya kematian atau cedera serius; untuk mempertahankan orang lain dari ancaman kematian atau cidera parah; untuk mencegah terjadi kejahatan besar atau yang mengancam nyawa manusia; mengekang, mencegah, atau mengakhirkan perilaku seseorang yang dapat menyebabkan kerugian hidup dengan cara yang sangat merbahya; serta mengelola situasi yang bisa membahayakan jiwa saat metode pendekatan yang kurang keras sudah tidak efektif lagi.

Fadil menyebutkan bahwa selama ini kepolisian umumnya menggunakan taktik yang keras saat menangani demonstrasi. Menurut dia, hal itu terlihat jelas dalam seminggu terakhir.
LBH Jakarta
menyambut berbagai laporan tentang kekerasan yang dialami oleh kepolisian.

Pada protes yang berlangsung Jumat, 20 Maret 2025, Fadhil menyebut ada tiga orang mahasiswa yang harus dilarikan ke rumah sakit karena dampak dari kekerasan tersebut. Selanjutnya, dalam unjuk rasa hari Jumat, 27 Maret 2025, beberapa pengaduan tentang pemukulan muncul setelah pendemo didorong kembali menuju area Sekitar Senayan Park oleh petugas berwenang.

Sejak terjadinya penyerangan dalam aksi Reformasi Dikorupsi tahun 2019 dan absennya tindakan dari pihak berwajib, LBH Jakarta telah mencoba untuk mengungkapkan kasus-kasus kekerasan yang dialami para peserta protes oleh petugas. Namun, sesuai dengan keterangan Fadhil, upaya tersebut belum mendapat respon lebih lanjut dari institusi polisi. “Ini membuat kami meragukan bahwa mungkin hal ini sengaja dibiarkan tanpa hukuman atau bisa juga sistematis sehingga metode penegakan hukum semacam ini secara fundamental merupakan elemen tak terpisahkan dari struktur kepolisian,” ungkapnya.

Tempo sudah mencoba menghubungi Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi serta Kapolres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Susatyo Purnomo Condro. Namun, hingga tulisan ini dibuat, kedua pihak tersebut belum memberikan respon.