BAKOELWEB INDONESIA
,
Jakarta
–
Aktris
Sha Ine Febriyanti
Dia mengaku cukup teliti saat menentukan pilihan perannya meskipun sudah lama aktif di industri perfilman. Ia cenderung menjauhi proyek-proyek bertema horor. Hal ini tidak disebabkan oleh ketakutan atau kemalasan, tetapi lebih kepada keinginannya untuk terlibat dalam narasi-narasi dengan pesan yang mendalam dan bermakna.
Sha Ine Febriyanti Mengangkat Kesempatan Komunikasi Keluarga dalam Film “Mungkin Kita Perlu Waktu”
Sha Ine Febriyanti Menekankan Pada Nilai-Nilai Yang Disampaikan
Sha Ine menyatakan tegas bahwa keputusannya untuk menjauhi tersebut.
film horor
Bukan berarti dia meremehkan kualitas genre itu. “Saya akan mencoba untuk menerima film-film seperti ini.”
value
(nilai)-nya. Kalau horor,
value
-nya sulit untuk saya terima,” ujar Ine ketika mengunjungi kantor.
Tempo
, Selasa, 18 Maret 2025.
Berdasarkan peran Nyai Ontosoroh dalam film tersebut
Bumi Manusia
(2019), masing-masing film punya keunikannya tersendiri—tapi dia cenderung memilih projek yang membawa makna mendalam sejalan dengan pandangan pribadinya. “Jarang sekali film horor,” demikian katanya.
value
-Ya, tersedia, tetapi tidak terlalu banyak. Hanya saja yang ada cukup mengintimidasi,” tambahnya.
Sebagai seorang aktris, dia biasanya mementaskan karakter-karakter yang memiliki lapisan psikologi mendalam serta menyampaikan pesan atau pengajaran. Sha Ine cenderung lebih tertarik kepada narasi-narasi yang dapat menciptakan emosi dan pemikiran introspektif daripada hanya memberi kejutan melalui scene-scene horor saja. Berikut beberapa contoh karya di mana dedikasinya itu tercermin adalah lewat pemerannya dalam film ini:
Beth
(2002),
Nay
(2015),
Jika Ini Adalah Ceritaku
(2018),
Bumi Manusia
(2019),
Budi Pekerti
(2023),
Mungkin Kita Perlu Waktu
(2025), serta masih ada banyak lainnya.
Peran dalam Film
Mungkin Kita Perlu Waktu
Dalam film terbaru garapan
Teddy Soeriaatmadja
,
Mungkin Kita Perlu Waktu
Ine berperan sebagai Kasih, seorang wanita yang menjadi janda karena kehilangan putranya. Ceritanya mengeksplorasi dampak luka batin pada sebuah keluarga serta langkah-langkah yang diambil oleh masing-masing anggotanya untuk menyembuhkan rasa sakit hati tersebut.
“Alasan utamanya adalah Teddy merupakan salah seorang sutradara yang sangat kusukai bekerja bersama. Sudah cukup lama kukinginkan hal ini,” ungkap bintang pemenang Piala Citra tersebut. Menjelaskan lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa selain mahir menulis skenario secara mandiri, Teddy juga dikenal dengan gaya pengarahannya yang unik dan bijaksana. Kombinasi kemampuan tersebut memperkokoh keputusan dirinya untuk menerima penawaran bergabung di proyek film Teddy.
Mungkin Kita Perlu Waktu
.
Film ini menceritakan tentang Ombak (Bima Azriel), seorang pemuda yang dilanda rasa bersalah karena hilangnya kakak perempuan pertamanya, Sara (Naura Hakim). Duka turut menyelimuti Restu (Lukman Sardi) dan Kasih (Sha Ine Febriyanti), sang ayah dan ibu.
Untuk menghadapi kesedihan, Kasih memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual, sedangkan Ombak menemukan harapan baru melalui pertemanannya dengan Aleiqa (Tissa Biani), seorang wanita yang menderita penyakit bipolar. Film selama 95 menit ini sudah diputar perdana di acara Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2024 dan direncakan dirilis di bioskop-bioskop tanah air pada tanggal 15 Mei nanti.
Rincian dan Ketajaman pada Teks
Bagi Sha Ine,
Mungkin Kita Perlu Waktu
Berbeda dari film lain yang membahas masalah kesehatan jiwa, ia merasakan bahwa Teddy mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang psikologi, sehingga setiap adegan dirancang dengan alur berpikir yang solid.
“Film ini disutradarai oleh seseorang yang benar-benar ahli dalam bidang psikologi. Teddy sangat mengerti akan seluk-beluknya karena dia memang telah menempuh pendidikan di bidang tersebut,” katanya. Dia melanjutkan dengan menjelaskan bahwa sang direktur memiliki pemahaman mendalam tentang cara merespons dan bereaksi pada setiap adegan, termasuk gerakan tubuh para aktris dan aktornya, sehingga semua tampak otentik dan masuk akal.
Menurut Sha Ine, terdapat berbagai macam skenario dengan alurnya yang baik tetapi kurang logis dalam pengembangan tokoh. Akan tetapi, karya tulisan Teddy mengandung banyak tingkatan makna. “Karyanya begitu rinci dan efisien. Tetapi tersirat di sana-sini juga ada pesannya. Hanya dari sebuah kalimat saja sudah dapat ditemukan potongan-potongan pesan batin yang rapat. Oleh karena itu, saya menyadari bahwa sang penyutradara serta penulis memahami hal-hal tersebut,” jelasnya tambahan.
Wawancara dengan Sha Ine Febriyanti: Stereotip Seputar Kesehatan Jiwa dan Mengunjungi Psikolog Tidak Lagi Dihalangi
Recent Comments