BakoelWeb Indonesia

, JAKARTA — Beberapa petinggi The Federal Reserve (The Fed) mengatakan bahwa kebijakan tariff yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump dapat menimbulkan peningkatan inflasi serta melambatnya konsumsi.

Presiden Federal Reserve Bank of Richmond Tom Barkin menyebutkan bahwa tarif yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, bisa memicu kenaikan inflasi serta tingkat pengangguran. Kondisi ini membawa tantangan signifikan bagi bank sentral AS itu sendiri.

Barkan menyebutkan bahwa goncangan pada harga akibat tariff bisa menimbulkan persaingan ketat di antara para pembeli yang kesal karena enggan membayar biaya tambahan dan penjual atau penyedia layanan yang percaya diri untuk terus menerapkan kenaikan tersebut.


Pemain Pasar Menyongsong Keputusan Tarif dari Trump, Apakah Obligasi Pilihan yang Lebih Baik?

“Sangat menggoda untuk menyaksikan kemana arus ini berlabuh. Tentu saja bagian darinya akan memiliki dampak pada harga dan oleh karena itu bisa jadi penyebab inflasi,” ujar Barkin saat sedang dalam perbincangan yang dipandu di New York di Dewan Hubungan Luar Negeri, seperti dilaporkan.
Bloomberg,
Rabu (2/4/2025).

Akan tetapi, pemimpin Federal Reserve Bank of Richmond juga menyampaikan peringatan bahwa beberapa efeknya bakal dirasakan di lapangan pekerjaan. Dia menjelaskan bahwa dengan harga yang naik, permintaan cenderung berkurang, dan hal ini mungkin saja menurunkan penjualan.

:

Wall Street Menguat Sebelum Pengungkapan Tarif Terbaru Dari Trump

“Bila Anda merupakan sebuah perusahaan yang tak bisa meningkatkan tarifnya, maka keuntungan marjin Anda akan berkurang. Selanjutnya, Anda akan memulai fokus pada peningkatan efisiensi operasional, hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah staf,” jelas Barkin.

Barkin mementingkan bahwa tingkat ketid Pastian terhadap kebijakan sebenarnya yang akan diterapkan sangatlah tinggi. Trump berencana untuk mengeluarkan kebijakan tentang tariff balasan dalam suatu peristiwa di gedung putih pada hari Rabu sesuai dengan zona waktu lokal.

:

Diskon Biaya Jalan Bebas Hambatan Sebesar 20% Untuk Masa Mudik Lebaran Tahun 2025, Dimulai DariTanggal 3 April 2025

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh rekan Barkin, yakni Presiden Federal Reserve Bank of New York John Williams. Menurutnya, terdapat potensi kenaikan inflasi sepanjang tahun ini karena efek dari kebijakan tariff milik Trump.

Namun begitu, Williams meyakini bahwa tingkat inflasi cenderung bertahan cukup stabil.

“Para anggota komite memiliki pandangan yang cukup luas tentang adanya kemungkinan peningkatan dalam perkiraan inflasi. Hal ini sesuai dengan pendapat pribadi saya,” jelas Williams merujuk pada proyeksi ekonomi terakhir dari bank sentral tersebut.

Menurut dia, ada potensi peningkatan signifikan yang sangat dipengaruhi oleh tarif serta keputusan-keputusan lainnya.

Williams menyebut masih abu-abunya tentang efek dari tarif yang dikenakan Presiden Donald Trump pada perekonomian. Dia menekankan pentingnya memantau informasi baru, terutama perkembangan harga serta kegiatan di sektor-sektor yang terpengaruh.

Menurutnya, dampak yang tak langsung dapat berlangsung selama bertahun-tahun sebelum menjadi kenyataan. Di pihak lain, ia enggan memberikan komentar mengenai kemungkinan penurunan tingkat suku bunga di masa depan.

Williams menyebutkan bahwa keraguan terkait kebijakan pemerintah Trump bisa berdampak pada tindakan sejumlah konsumen dan perusahaan.

Meskipun begitu, perekonomian Amerika Serikat masih dalam keadaan yang sehat dan menyatakan bahwa negeri tersebut belum mengalami stagflasi pada masa kini.

“Kebijakan moneternya terlihat cukup kencang,” ujar Williams, sambil menyatakan bahwa bank sentral mungkin akan menjaga posisi tersebut dalam jangka waktu tertentu.

Ia menaksir pertumbuhan bakal melandai di tahun 2025. Williams sempat menyampaikan bahwa faktor tersebut tidak lepas dari penurunan laju migrasi.


DAMPAK TARIF PADA KONSUMSI

Pada saat yang sama, Presiden Federal Reserve Bank of Chicago Austan Goolsbee mengingatkan tentang dampak buruk yang dapat dihasilkan oleh penurunan dalam pengeluaran konsumen maupun investasi bisnis akibat ketidaktentuan seputar tariff.

“Bila pelanggan mengakhiri pembelanjaan atau perusahaan berhenti melakukan investasi lantaran ketidakpastian dan rasa takut tentang arah masa depan kami, hal tersebut dapat menimbulkan situasi yang agak kacau,” katanya.

Goolsbee mengamati bahwa, berdasarkan teori, tariff tunggal harusnya hanya mempengaruhi harga untuk jangka waktu singkat. Namun, dia juga menyebutkan bahwa tarif itu bisa memberikan efek yang lebih panjang dari sekadar pengaruh sesaat.

Peristiwa itu bisa disebabkan oleh adanya tarif balasan serta kenyataan bahwa sejumlah bea mungkin diterapkan pada produk setengah jadi, contohnya adalah komponen atau suku cadang yang nantinya menjadi bagian dari barang produksi lokal.

Pemimpin Federal Reserve di Chicago tersebut memproyeksikan tingkat suku bunga bakal berkurang dalam rentang waktu 12 sampai 18 bulan mendatang. Goolsbee menyebutkan bahwa informasi nyata terus menandaskan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang kuat, meski hasil survei bagi konsumen dan perusahaan cenderung lesu.

“Anda sudah melihat angka-angka terkait sentimen, kepercayaan, dan aktivitas bisnis serta konsumen hampir merosot,” kata Goolsbee.

Petugas Federal mempertahankan tingkat suku bunganya tanpa perubahan untuk kali kedua secara beruntun saat rapat mereka di bulan Maret, menyusul penurunan satu poin persen yang dilakukan menjelang akhir tahun sebelumnya.

Pimpinan Federal Reserve, Jerome Powell, pada sebuah konferensi pers pasca rapat tersebut menyatakan bahwa efek inflasi akibat bea masuk mungkin hanya bersifat sementara. Ini bisa berarti petugas fokus pada aspek kenaikan harga.

Kata “sementara” yang digunakan Powell membuat banyak analis Federal Reserve terkejut karena ungkapan tersebut membangkitkan kembali terminologi yang telah dipakai para petinggi bank sentral selama tahun 2021 untuk menjelaskan efek pandemi terhadap inflasi. Namun, dalam kasus ini, pendapat Powell serta orang-orang lain ternyata sangat keliru.

Kebijakan tariff semakin tidak menentu di bawah presiden Donald Trump sampai saat ini sudah membuat konsumen dan perusahaan menjadi lebih waspada.