BakoelWeb Indonesia
,
Jakarta
– Koalisi Masyarakat Sipil mengharapkan agar Komisi III DPR RI jangan terlalu cepat mengevaluasi Rancangan Undang-Undang KUHAP atau
RUU KUHAP
Koalisi menganggap ada banyak masalah yang perlu dianalisis dengan cermat untuk mencegah potensi pelanggaran HAM sistematis selama persidangan kriminal.
MuhammadIsnur dari Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik bahwa Komisi III DPR tampak tergesa-gesa ketika berencana untuk menyelesaikan diskusi tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Unsur-unsur Pidana Acara Perdata dalam waktu dua sesi parlemen hingga Oktober-November 2025. Sebenarnya, RUU ini mencakup seluruhnya sekitar 334 pasal di mana ada lebih kurang 1570 ayat yang harus diperdebatkan dalam isi utama undang-undang tersebut serta tambahan 590 ayat lagi pada bagian komentar atau interpretasinya.
Masuk akalnya kurang apabila diskusi mengenai Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHAP) dilaksanakan dengan cermat hanya dalam hitungan bulan,” ujar Isnur dalam pernyataan tertulis yang diberikan kepada media.
Tempo
, Rabu, 2 April 2025.
Isnur menyebut bahwa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP telah merangkum sembilan permasalahan penting yang harus ditangani dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP. Salah satunya adalah perlunya transparansi dan pertanggungjawaban terhadap pelaporan tindakan pidana oleh publik.
“Harus ada jaminan bahwa para korban berhak untuk mengajukan sanggahan kepada penuntut umum atau hakim jika laporan atau pengaduan atas suatu tindakan kriminal tidak diinvestigasi oleh pihak penyelidik,” ucapnya.
Kedua, diperlukan mekanisme pengawasan yang dijalankan oleh pengadilan.
judicial scrutiny
Dan tersedia pula forum keluhan untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh petugas berwenang. Isnur menggarisbawahi bahwa perlu adanya jaminan semua usaha paksa serta tindakan lain dari penyidik atau penuntut umum bisa diperiksa di pengadilan.
Isnur menyebutkan bahwa harus adanya proses penolakan yang diiringi dengan pemeriksaan mendalam terhadap tuduhan pelanggaran bukan hanya sebatas pemeriksaan administratif berkas surat.
Ketiga, UU HAM perlu mengalami revisi terhadap aturan-aturan dasar untuk eksekusi penangkapan, penahanan, pencarian rumah atau tempat, penyitaan, serta perekaman suara dengan pendekatan yang obyektif dan bertujuan melindungi hak-hak asas setiap orang.
Menurut Isnur, diperlukan adanya jaminan bahwa semua tindakan itu harus dilakukan dengan persetujuan dari pengadilan. Penyimpangan terkait keadaan darurat yang tidak memerlukan persetujuan pengadilan diatur dengan sangat ketat.
Di samping itu, dalam jangka waktu paling lama 48 jam, tersangka dugaan pelaku yang telah diamankan harus dipertemukan langsung dengan majelis hakim guna dievaluasi mengenai tindakan petugas yang melakukan penangkapan serta untuk memutuskan apakah dibutuhkan langkah pembatasan kebebasan lebih lanjut atau tidak.
Keempat, Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Prosedur Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) perlu menerapkan prinsip keseimbangan dalam jalannya persidangan pidana di antara negara (melalui penyidik dan penuntut umum) serta warga negaranya, termasuk juga para pengacara yang membantu mereka. Isnur menggarisbawahi pentingnya adanya perlindungan bagi peranan pengacara agar lebih kuat dalam menjalankan tugas pertahanan mereka, terlebih lagi soal hak akses untuk dapat melihat atau memeriksa seluruh dokumen perkara hingga bukti-bukti yang bisa melemahkan posisi tersangka tersebut.
“Termasuk memperluas penyediaan bantuan hukum yang disupport oleh pemerintah serta memberikan layanan pendampingan hukum tanpa batasan-batasan, sampai pada akhirnya harus menegaskan kembali definisi dari seorang pengacara berdasarkan regulasi yang telah terdapat,” ujarnya.
Kelima, penting untuk memiliki pertanggungan jawab dalam melaksanakan wewenang teknis penyidikan khusus seperti pengadaan tersembunyi (
undercover buy
) serta penyerahan yang dipantau (
controlled delivery
Koalisi menyatakan bahwa RUU KUHAP seharusnya mengatur batasan terhadap macam-macam tindakan hukum yang bisa digunakan dalam metode penyelidikan tertentu. Ini juga mencakup ketentuan tentang otoritas dan jaminan bahwa hal tersebut hanya boleh dilakukan jika ada persetujuan dari pengadilan.
“Otoritas tersebut tidak seharusnya diterapkan dalam tahapan penyelidikan; penegak hukum yang menyebabkan kejahatan dengan motif buruk tidak harus menjadi pelaku,” ungkap Isnur.
Enam, diperlukan peninjauan ulang terhadap sistem hukum pemberian bukti. MenurutIsnur, penting untuk mendefinisikan bukti dengan tidak membatasi jenisnya ke dalam kategori tertentu baik dari segi dokumen maupun benda fisik, sambil tetap menegaskan aspek relevansi dan kualitas bukti tersebut. Tambahan lagi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) seharusnya juga menyertakan pedoman tentang cara mengolah berbagai tipe bukti ini dan memberikan jaminan bahwa akan ada “alasan yang mencukupi” secara eksplisit.
Menurut Isnur, definisi tersebut tidak hanya merujuk pada dua jenis bukti awal yang kemudian secara berkelanjutan dapat dipakai menjadi dasar untuk operasi seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, serta tindakan-tindakan lainnya.
Kelima, penting sekali adanya aturan terkait dengan proses persidangan secara elektronik. Menurut koalisi, diperlukan suatu definisinya tentang “situasi khusus” dimana pelaksanaan persidangan secara daring bisa berlangsung tanpa mengorbankan tujuan utama yaitu mencari fakta sebenarnya serta mencegah adanya vonis yang tidak adil, salah, atau merugikan bagi kedua belah pihak dalam kasus tersebut.
Di samping itu, harus ada jaminan bahwa persidangan daring tidak dapat digunakan sebagai dalih untuk mengurangi akses masyarakat umum, termasuk keluarga para korban dan terdakwa.
Delapan, akuntabilitas dalam menangani kasus di luar persidangan. Isnur menyebut bahwa perlu adanya penyempurnaan konsep keadilan restoratif yang sekarang masih dilihat terbatas pada penyelesaian kasus saja.
Harus dipastikan bahwa metode penyelesaian kasus di luar pengadilan yang akan disediakan kelak bisa diterapkan pada fase setelah penyelidikan. “Tanggung jawab harus dijamin guna menghindari adanya praktek-praktek transaksional serta ancaman atau perampokan,” katanya.
Ke sembilan, penting untuk memperkuat hak-hak tersangka atau terdakwa, saksi, serta korban.Isnur menekankan perlunya ketegasan tentang mekanisme restitusi yang bertujuan untuk menebus kerugian korban, mencakup dari tahap permohonan sampai dengan saat dana benar-benar diterima oleh korban.
Selain itu, perlu adanya ketentuan dalam pasal-pasal operasional untuk memastikan bahwa hak tersangka atau terdakwa, saksi, serta korban bisa dijangkau dengan baik.
“Termasuk dalam hal ini adalah pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab memenuhi hak-hak tersebut, prosedur pengaduan atas dugaan pelanggaran hak sampai sanksi-sanksi apabila benar-benar diketahui bahwa hak-hak itu tidak dipenuhi atau dilanggar,” jelas Isnur.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan bahwa mereka akan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Hukum Acara Pidana melalui komisisnya. Menurut Habiburokhman, ia telah melakukan koordinasi dengan para pemimpin di DPR berkaitan masalah ini.
“Habiburokhman mengatakan bahwa dia telah berkoordinasi dengan Pak Sufmi Dasco dan memastikan hal tersebut akan dilakukan di Komisi III.” Hal ini disampaikannya saat ditemui di kompleks parlemen Senayan pada hari Kamis, 27 Maret 2025.
Sebelumnya, DPR sudah mendapatkan surat presiden atau surpres yang berisikan tentang pembahasanRUUR UU KUHAP pada sidang pleno parlemen, yakni hari Selasa tanggal 25 Maret tahun 2025. Di kesempatan tersebut, Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan bahwa sampai saat itu belum ditentukan komisi apa yang akan menangani RUU KUHAP walaupun Komisi III telah memulai proses dialog dan diskusi terkait hal ini.
Sebelumnya, Habiburokhman menyampaikan bahwa penyusunan Rancangan Undang-Undang tersebut diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu singkat karena jumlah pasal yang ada tidak begitu banyak. “Maka paling lambat selama dua sesi rapat. Namun jika memungkinkan, satu sesi saja sudah cukup dan minggu depan kita telah memiliki KUHAP versi baru,” tuturnya di gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Kamis, tanggal 20 Maret 2025.
Hammam Izzuddin
bersumbang dalam penyusunan artikel ini.
Recent Comments