jatim.BakoelWeb Indonesia

, BANYUWANGI – Ribuan penduduk lokal dan turis yang berasal dari wilayah-wilayah berbeda menghadiri Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada hari Selasa (1/4), guna melihat perayaan prosesional tradisional Barong Ider Bumi.

Tradisi yang dilaksanakan pada hari kedua Idulfitri ini diyakini menjadi upaya masyarakat lokal dalam menghalangi terjadinya bencana dan epidemi penyakit yang dahulu pernah menyengsarakan kampung itu di waktu lalu.

“Ritual Barong Ider Bumi diadakan untuk pertama kalinya pada kurun waktu 1840-an ketika Desa Kemiren menghadapi suatu pandemi yang menewaskan banyak orang dan merusak tanaman karena serangan hewan pengerat. Situasi semakin memburuk dengan terjadinya kelaparan berkelanjutan,” jelas pakar tradisional dari Desa Kemiren bernama Suhaimi.

Menurut dia, barong dalam kebiasaan tersebut dijelaskan sebagai karakter makhluk bertanding berbulu dengan sayap yang dipercaya bisa menjaga kawasan dari bahaya.

Suhaimi mengisahkan bahwa saat itu, para tetua di kampung memohon nasihat dari Mbah Buyut Cili, leluhur Desa Kemiren.

Menurutnya, dalam mimpinya diberi tanda untuk meminta kepada penduduk setempat menyelenggarakan pawai barong yang berkeliling desa sebagai langkah penghalang kesialan.

Upacara dimulai dengan sholawatan yang diamini oleh para tetua suku di tempat bersejarah Buyut Cili, kemudian barong dibawa melingkari kampung.

Walaupun hujan sedang turun ketika upacara berlangsung, Kepala Desa Kemiren Arifin masih menyampaikan rasa syukurnya karena tradisi ini dapat dilaksanakan dengan sukses.

“Kita masih berterima kasih karena hujan merupakan karunia dari Yang Maha Kuasa,” katanya.

Dia menyebut bahwa Barong Ider Bumi adalah elemen penting dalam usaha konservasi budaya yang perlu dipelihara oleh anak-anak muda.

“Kami memiliki tanggung jawab untuk memelihara warisan budaya nenek moyang kami, kedepannya kami mengharapkan tradisi ini terus dipertahankan oleh anak-anak muda, agar budaya serta adat istiadat Osing dapat bertahan lama,” katanya.

Ketika gamelan dibuka, barong dipawai keliling desa oleh masyarakat yang memakai pakaian tradisional Osing. Prosesi ini berawal dari ujung timur Desa Kemiren hingga ke arah barat, melintasi kurang lebih dua kilometer.

Sepanjang petualangan, sang tokoh adat melaksanakan upacara uthik-uthik, yakni prosesi menaburkan 999 keping uang logam yang telah dicampuri dengan beras kuning serta berbagai jenis bungan untuk mengusir sial.

Acapkali puncak perayaan dinodai oleh makan besar bersama, dimana penduduk berkumpul dan duduk sejajar di tepian jalanan desa guna mencicipi pecel pitik, hidangan istimewa dari Banyuwangi yang dibagikan dalam skala besar.

Seorang turis dari Surabaya bernama Dian Eka Putri Nasution menyampaikan bahwa dia sangat terpukau oleh suasana keakraban yang ada di dalam upacara tersebut.

“Apa yang saya sukai paling banyak adalah keakrabannya, kita semua dapat duduk bersama-sama, makan di jalan raya desa. Ini memberikan perasaan hangat dan sungguh-sunguh bermakna bagi saya; sesuatu yang sulit untuk saya jumpai di perkotaan,” ujarnya.

(antara/mcr12/jpnn)