Idul Fitri, saat mulia yang semestinya diisukan dengan kebahagiaan dan ketulusan hati untuk bersyukur, malah berubah menjadi sumber cemas bagi sejumlah orang di Indonesia.
Tersembunyinya penderitaan di balik kegembiraan berbelanja busana baru, membungkus hadiah untuk lebaran, serta mempersiapkan perjalanan pulang kampung adalah peningkatan hutang dari pinjaman daring yang semakin meningkat.
Data terkini mengungkapkan bahwa pemberian kredit online di Indonesia meningkat hingga dua angka mendekati bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tahun 2025.
Maka, apa sebenarnya yang menyebabkan masyarakat jatuh ke dalam siklus hutang tersebut? Bukankah ketersediaan uang tunai dengan mudah hanyalah janji palsu dari kenikmatan yang pada akhirnya membawa penderitaan?
Phenomenon ini tak lepas dari tekanan sosio-ekonomi yang semakin meningkat menjelang Idul Fitri. Menurut Ketua Umum AFPI, Entjik S. Djafar, keinginan untuk berbelanja masyarakat naik tajam selama bulan puasa sampai dengan hari raya.
Tradisi silaturahmi, yang pada dasarnya suci, terkadang diartikan sebagai kesempatan untuk memperlihatkan derajat lewat baju branded, kado eksklusif, atau hidangan berlimpah.
Di tengah inflasi dan daya beli yang tertekan, pinjol hadir bagai dewa penolong: tanpa agunan, proses instan, dan dana cair dalam hitungan menit.
Penawaran mereka muncul terselip antara iklan e-commerce, permainan, atau media sosial—sepertibisikan lembut yang memikat: “Pinjam sekarang, bayar kemudian.”
Namun, di balik kemudahan itu tersimpan risiko yang kerap diabaikan. Kuseryansyah dari AFPI mengingatkan, praktik pinjol ilegal dengan bunga fantastis masih marak.
Memanfaatkan keperluan mendesak orang banyak, mereka menyediakan penawaran yang kelihatannya sederhana tetapi diikuti dengan beban bunga mencapai ratusan persen setiap tahunnya.
Tidak mengherankan, banyak peminjam pada akhirnya terperosok ke dalam jebakan hutang berputar—mengganti utang lama dengan meminjam yang baru.
Agusman dari OJK menyatakan bahwa walaupun pertumbuhan pinjol tetap tinggi (29,94% year-on-year hingga Januari 2025), namun rasio kredit bermasalah (NPF) juga meningkat, yakni dari 2,70% di Desember 2024 menjadi 2,96% pada Januari 2025.
Angka tersebut mungkin tampak kecil, namun pada skala triliunan rupiah, itu mencerminkan ribuan keluarga yang mengalami kesulitan finansial.
Maka, kenapa orang masih tertarik? Salah satunya adalah karena pengaruh budaya. Lebaran di Indonesia tidak hanya merupakan suatu kebiasaan beragama, namun juga menjadi kesempatan untuk menunjukkan ‘keberhasilan’ dengan menggunakan lambang-lambang benda material. Orang merasa perlu memenuhi harapan dari kerabatnya, meskipun itu membuat mereka harus utang.
Kedua, keterbatasan literasi finansial. Banyak peminjam tidak memahami konsep bunga efektif, denda keterlambatan, atau total kewajiban yang harus dibayar. Mereka terjebak pada euforia dana cepat cair tanpa mempertimbangkan kemampuan pelunasan.
Ketiga, keterbatasan opsi pendanaan. Bank tradisional sering kali menyulitkan melalui berbagai ketentuan administrasi yang rumit, sedangkan pinjaman online menawarkan jawaban cepat—khususnya untuk kalangan yang tidak dapat dijangkau oleh sistem bank.
Ironisnya, situasi ini justru dimanfaatkan oleh oknum fintech ilegal. Dengan modus operandi agresif, mereka menargetkan kelompok rentan: ibu rumah tangga, pelajar, atau pekerja informal.
Tindakan pengumpulan hutang yang keras kepala dan tak berperikemanusiaan sering kali menjadi bagian dari praktik tersebut, sebagaimana banyak dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pengaruhnya mencakup dampak finansial serta emosional: perasaan malu, tekanan batin, bahkan sampai keputusasaan.
Akan tetapi, adakah semuanya benar-benar “lawan”? Belum tentu demikian. Perusahaan fintech resmi yang diawasi oleh OJK dapat menjadi alternatif krisis apabila dipergunakan dengan tepat dan bertanggung jawab.
Masalahnya adalah bahwa budaya boros serta kurangnya perencanaan finansial menyebabkan banyak orang melihat pinjol sebagai sumber dana utama, bukannya pilihan terakhir.
Sebenarnya, seperti yang ditekankan oleh Entjik, kuncinya terletak pada pemahaman keuangan yang baik untuk mengelakan diri dari jebakan hutang.
Selanjutnya, apa langkah menghadapi godaan tersebut? Yang pertama adalah mengevaluasi antara kebutuhan dan keinginan. Sebelum Anda memilih untuk berhutang, pikirkan dahulu: apakah uang yang dibutuhkan itu untuk hal penting atau cuma hasrat sementara? Kalau tujuannya hanyalah buat beli pakaian baru atau peralatan elektronik terbaru, coba cari opsi lain misalkan dengan sewa barang atau mencari produk bekas dalam kondisi baik.
Kedua, susunlah sebuah anggaran yang rincian. Sediakan alokasi dana secara spesifik untuk perayaan Lebaran sedini mungkin, seperti contohnya melalui tabungan berkala ataupun menggunakan skema dana kelompok.
Ketiga, hindarilah pinjaman online ilegallya. Pastikan bahwa platfom yang Anda gunakan telah terdaftar di OJK, periksa tingkat suku bunganya, serta bacalah ketentuan dengan teliti.
Keempat, maksimalkan opsi pendanaan alternatif. Apabila memungkinkan, Ajukan Kartu Tunai Kredit (KTC) di bank yang memiliki suku bunga lebih rendah atau gunakan jasa arisan online.
Kelima, lakukan pendidikan diri serta keluarga Anda. Naikkan tingkat pengetahuan keuangan lewat seminar, bacaan artikel, atau berkonsultasilah dengan seorang perencana keuangan.
Tidak kalah pentingnya adalah merubah pandangan mengenai Lebaran. Nilai dari hubungan persaudaraan ini tidak diukur melalui keelokan pakaian atau mahalnya hadiah.
Keberhasilan sesungguhnya ada di dalam sikap ikhlas untuk mengampuni serta rasa nyaman tanpa tekanan. Mirip dengan cerita sang penulis yang berterima kasih karena tidak tertarik dengan layanan pinjam-meminjam uang online, “kesulitan” menahan diri agar tidak berutang malah memberikan “kenyamanan” kedamaian setelah perayaan Lebaran.
Pihak pemerintahan serta lembaga terkait wajib bertindak dengan sigap. Harus dilakukan sosialiasi masif mengenai ancaman dari pinjaman online tidak sah, sedangkan jangkauan untuk mendapatkan pendanaan secara resmi sebaiknya dijadikan lebih luas.
OJK dan AFPI dapat bekerja sama dengan platfom digital guna menutup akses iklan dari fintech-fintech palsu tersebut. Sementara itu, dibutuhkan juga adanya dorongan atau imbalan kepada lembaga keuangan multifinance yang membantu Usaha Mikro Kecil Menengah agar mereka bukanlah satu-satunya pilihan bagi masyarakat.
Di penghujung hari, peningkatan hutang pinjol menjelang Lebaran tahun 2025 mencerminkan permasalahan yang mendasarinya: ketimpangan ekonomi, beban sosial, serta kekurangan pendidikan.
Tetapi hal itu juga menunjukkan kepada kita bahwa kenyamanan teknologi perlu disertai dengan kedewasaan pribadi.
Sebagaimana ungkapan bijak berbunyi, “Hutang itu ibarat lautan: semakin dikonsumsi, semakin dahaga.” Marilah kita menjadikan Idul Fitri sebagai momentum untuk menguatkan ikatan persaudaraan, bukan menambah panjang deretan hutang.
Kebahagiaan sesungguhnya tak dapat dibeli dengan uang hasil peminjaman online — ia tumbuh dari hati yang suci dan pikiran yang bebas.
Recent Comments