Saya berharap untuk membantu tidak hanya dengan impian-impian besar, tapi dengan hal-hal sederhana yang bisa diselesaikan oleh masyarakat setempat, ungkap Richard Markham. Mengapa ia berniat mendirikan sebuah pabrik garam di Indonesia?

Richard Markham datang ke Jerman pada tahun 1965 dengan tujuan untuk mempelajari matematika di kampus Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen. Di tahun yang bersamaan, Presiden ketiga Indonesia BJ Habibie juga telah menuntaskan disertasinya di institusi tersebut.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Richard menghabiskan waktu kerjanya di Jerman sebagai seorang spesialis komputer dan pemrosesan data untuk beberapa perusahaan, posisi ini ia jalani hingga memasuki masa pensiun. Usai resmi pensiun, akhirnya dia dapat fokus pada hobinya yaitu menyelam. Dia berkata, “Hampir setiap zona penyelaman di Indonesia telah saya jelajahi.”

Mengapa di usia 80-an dia tiba-tiba berkeinginan untuk memiliki sebuah pabrik garam? Alasannya adalah karena dirinya kagum dan bertanya dalam hati, mengapa negara kita dengan garis pantai yang sangat luas ini masih perlu melakukan impor garam hingga triliunan rupiah setiap tahunnya?

Keinginan akan garam yang besar, sementara produksinya dalam negeri kurang kuat.

Kebutuhan akan garam di Indonesia semakin naik tiap tahunnya. Di tahun 2022, catatan menunjukkan bahwa keperluan garam dalam negeri kira-kira berjumlah 4,5 juta ton pertahun. Untuk tahun 2023, diprediksikan jumlah tersebut bakal bertambah hingga mendekati angka 5 juta metrik ton. Kenaikan signifikan itu utamanya dikarenai oleh lonjakan permintaan dari bidang industri, yang menyumbangkan kurang lebih 91% dari keseluruhan kebutuhan garam nasional pada tahun 2023. Meskipun demikian, produktivitas lokal secara rata-rata hanya mampu memproduksi sekitar 1,5 juta ton untuk periode beberapa tahun belakangan ini.

Diperkirakan Indonesia mempunyai kira-kira 400 pabrik pemrosesan atau penyulingan garam, dengan rincian terdiri atas 13 pabrikan berukuran besar, 56 berukuran sedang, serta 312 lainnya berukuran kecil. Dijatahkan bahwa pabrik-pabrik tersebut, baik ukuran besar maupun sedang, mungkin telah merapalkan sekitar 65 hingga 70 persen total produksi garam di tanah air.

Sebagian produsen garam turut memproduksi garam mentah, sementara yang lainnya mendapatkan garam mentah dari para petani garam konvensional atau dengan cara impor untuk dilakukan proses tambahan selanjutnya.

Masalah suplai garam di Indonesia merupakan hal yang sudah berlangsung cukup lama. Sebagai contoh, industri mengharuskan adanya garam dengan standar khusus, namun pasokan garam dari para nelayan lokal cenderung tidak menentu dan terpengaruh oleh kondisi iklim seperti cuaca. Selain itu, hasil panen garam mereka umumnya memiliki mutu yang kurang baik sehingga pihak pemroses garam lebih condong pada pembelian garam import dibanding menggunakan produk lokal demi proses penyulingan selanjutnya.

Mengapa Indonesia tidak mendorong produksi garam dalam negeri serta mendukung para nelayan garam, komplain Richard Markham. Menurut dia, investasi awal untuk pertanian garam ini cukup terjangkau karena sumber bahan bakunya adalah air laut, yang tinggal dikeringkan saja.

Mengembangkan perekonomian rakyat

Setelah itu, ia mempelajari tentang garam, termasuk aspek perdagangan dan cara pembuatannya. Berbekal pengalaman bertahun-tahun sebagai konsultan di banyak firma, ia memiliki relasi yang meluas hingga ke beberapa negara Eropa. Sebab Jerman tak memiliki pabrik produksi garam dari lautan, ia menuntut ilmu di Prancis dan Spanyol.

Tiap tahun, Richard bersama istrinya Marion menetap selama lima hingga enam bulan di Indonesia guna memantau proses produksinya terkait garam. “Saya baru tahu bahwa sentra penghasil garam dalam negeri ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keluargaku berasal dari pulau tersebut sehingga aku kembali ke situ, lebih spesifik ke Lasem yang berdekatan dengan Rembang.”

Menurut penjelasannya, produksi garam tradisional merupakan aktivitas yang tergantung pada musim, sehingga sulit untuk dilaksanakan saat sedang hujan. Dalam rangkaian prosedurnya, air laut awalnya ditampung dalam tambak sebelum kemudian mengalami penguapan. Tahap tersebut mungkin harus dijalankan berulang-ulang. Selanjutnya, hasil cairan yang telah kental akan dipindahkan ke tempat pemisahan lebih lanjut atau biasa disebut dengan kolam kristalisasi guna meningkatkan persentase kandungan NaCl. Proses ini juga dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.

Pada saat pensiun, mulailah hal-hal baru.

Menurut Pak Richard, pembuatan garam telah menjadi hal yang umum bagi penduduk lokal. Dia menambahkan, “Karena itu, mereka tak perlu mengikuti pelajaran tambahan. Namun, sebagai profesi musiman, karyawan saya hanya dapat bekerja selama beberapa bulan saja. Saat produksinya terhenti, mereka harus mencari sumber penghasilan alternatif.” Karena alasan tersebutlah ia memiliki impian untuk merintis sebuah pabrik garam beserta penggilingannya guna memberi kesempatan kerja kepada lebih banyak orang secara kontinu sepanjang tahun.

“Dengan bercocok tanam garam, masyarakat dapat memiliki pendapatan. Kehidupannya akan menjadi lebih baik dan ekonomi setempat semakin terdongkrak,” katanya. “Saya berharap untuk mengembangkan kesejahteraan warga secara perlahan, tidak melalu impian-impian muluk atau harapan-harapan tinggi, tapi lewat hal-hal yang sederhana saja. Melalui apa yang telah dikenali oleh masyarakat sekitar dan bisa dilakukan sendiri,” ungkap Richard Markham.

Namun, ia mengaku bahwa mendirikan bisnis di Indonesia tidaklah mudah. “Ada banyak peraturan dan birokrasi. Jika seperti ini, bagaimana masyarakat biasa dapat membuka usaha?” ujarnya dengan kesedihan. Akan tetapi, terkait pabrik garam, komitmennya telah pasti. Pada bulan Mei, dirinyalah bersama istrinya akan kembali ke Indonesia dan menetap di sana hingga akhir tahun. Dia berkata dengan antusiasme, “Umur saya sekarang adalah 81 tahun. Inilah waktu untuk memulai hal-hal baru!”

ind:content_author: Hendra Pasuhuk